Kerikil-Kerikil Takwa

Oleh : Bayu Bharuna


Duduk di beranda sebuah mesjid tak serta merta membuat saya merasa tenteram. Malam itu saya menjalankan sholat dengan ringkas saja lalu buru-buru keluar menuju beranda dan duduk-duduk disana. Dinding mesjid sudah retak disana-sini, bahkan di tempat wudhu dan kamar mandi sebagian dindingnya roboh. Saluran air mati karena aliran listrik terputus hingga air untuk wudhu sedikit demi sedikit harus dikumpulkan dengan menimba. Walau berusaha untuk konsentrasi saya tetap tak bisa menjalankan sholat dengan khusyu tanpa memikirkan kemungkinan bangunan ini sewaktu-waktu runtuh. Maka lebih baik saya duduk-duduk saja diberanda yang tak beratap dan tak berdinding sambil memandangi tenda pengungsi yang berada di depan mesjid.

-Mangga linggih heula, Cep.

Beberapa orang di bawah tenda menyapa saya dengan ramah..

Beberapa ibu-ibu menunggui anak-anaknya yang sudah terlelap. Ada juga bayi mungil yang sedang ditimang dengan penuh kasih oleh ibunda yang, coba menidurkannya. Mereka sedang memasak sesuatu untuk makan malam atau mungkin menyiapkan bekal untuk sahur nanti. Walau begitu beberapa orang tampak berbincang-bincang dengan tenang mengenai kondisi gempa di desa mereka. Mungkin mereka berusaha menyembunyikan kegelisahan di depan anak-anaknya.

Saya membalas dengan senyum atas tawaran itu dan mengucapkan terimakasih dengan rasa getir. Keramahtamahan tak pernah lepas dari masyarakat disini. Menyaksikan masyarakat yang dirundung bencana gempa membuat hati saya remuk redam. Akan lain rasanya bila hanya melihat di TV dibanding dengan berada langsung di antara mereka.

Malam itu kami menempati posko di desa Margamukti, kecamatan Pangalengan, untuk membantu menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang ditimpa gempa 7,3 skala Ritcher ini. Sebagian besar bantuan yang disalurkan berupa sembako dan ransum makanan untuk pengungsi berupa harvest blend. Tak kurang lima ton bantuan yang harus disalurkan malam itu juga. Perut yang lapar tak dapat menunggu dan mungkin mereka tak punya sesuatu untuk dimakan sekarang dan untuk sahur nanti. Maka malam itu puluhan sorti perjalanan dilakoni oleh empat buah jip Landrover yang baru datang dari Bandung. Ada 26 RW yang tersebar di desa Margamukti, dengan RW terjauh terletak di pelosok perkebunan teh Kertamanah dan di bukit-bukit sekitar PLTU Nusantara.

Truk bantuan sendiri baru datang sekitar pukul sebelas malam. Sambil menunggu truk bantuan datang armada jip Landrover itu dipakai untuk mengevakusi masyarakat yang memerlukan layanan kesehatan ke Puskesmas. Malam itu tak ada satupun kendaraan operasional yang standby di posko kecuali sebuah motor. Saya cukup heran di sebuah posko dengan cakupan yang cukup luas tak tersedia kendaraan operasional yang standby, sehingga kedatangan armada jip ini sangat membantu.

Proses penyaluran bantuan harus menyusuri jalan-jalan desa yang penuh barikade dan pos pengungsi di malam yang semakin melarut. Api unggun terlihat pada setiap pos di sepanjang jalan untuk mengusir kegelapan dan hawa dingin yang menusuk di daerah Pangalengan. Menyusuri jalan-jalan desa diantara reruntuhan bangunan, barikade dan api-api unggun yang tersebar mengingatkan saya bagai dalam sebuah suasana perang kota seperti dalam film Black Hawk Down. Tempat paling jauh dicapai dengan melewati jalan koral yang rusak dan gelap gulita di daerah perkebunan. Penyaluran bantuan baru selesai hingga menjelang sahur. Kami makan sahur dengan ransum yang sama dengan pengungsi gempa berupa campuran kacang-kacangan dan nabati.

Jalan-jalan koral yang rusak itu seakan kerikil yang harus dilalui untuk tetap menjunjung nilai kemanusiaan. Siapapun dapat saja berpaling dari masyarakat yang ditimpa bencana namun menyusuri jalan penuh kerikil ke arah kemanusiaan akan menunjukkan kesungguhan seseorang mencoba jalani takwanya. Sungguhpun mungkin ia tak menyadari karena keberadaannya ditempat ini hanya didorong oleh sebuah tangan yang gaib.

Malam ini bisa saja saya tak ikut serta ke Pangalengan dan menjalankan ibadah di lingkungan rumah. Donasi bisa disalurkan lewat rekening bank saja, kan lebih praktis. Di bulan puasa yang penuh rahmat ini seperti kebanyakan umat muslim saya ingin berusaha menjalani ibadah yang terkandung didalamnya seperti sholat tarawih berjamaah di mesjid-mesjid, setelah begitu banyak ibadah yang terlewatkan disetiap harinya. Kini di desa bukan saja mesjid-mesjid kosong dengan dinding yang retak, untuk melakukan sholat taraweh sendirian pun rasanya terlalu capek Sungguh banyak kerikil yang menguji kita untuk menjalani sebuah ibadah.

Namun menyaksikan tenda-tenda yang dijejali pengungsi dari depan beranda mesjid yang rusak ini, sejenak saya merasa bahwa dengan berada disini saya tak lebih rendah di hadapan Tuhan dari mereka yang khusyu menjalani ibadah di mesjid-mesjid dan membasahi lidahnya dengan berdzikir. Sebuah perasaan yang sangat mungkin salah

Komentar

Postingan Populer