INI PUN AKAN BERLALU

Detik-detik berlalu

Dalam hidup ini

Perlahan tapi pasti

Menuju mati

Kerap datang rasa takut

Menyusup di hati

Takut hidup ini terisi

Oleh sia-sia

Pada hening dan sepi

Aku bertanya

Dengan apa kuisi

Detikku ini

Tuhan kemana kami

Setelah ni

Adakah Engkau dengar

Jeritku ini”

By Iwan Abdulrahman


Lahir, hidup, dan kemudian mati adalah siklus dari semua yang bernyawa, pun manusia juga termasuk didalamnya. Mau tidak mau itulah yang pasti, pasti, dan pasti akan terjadi, tak ada tawar-menawar (bargain) dalam hal ini. Dan senjata berupa amigdala menjadi pembeda antara manusia dengan mahluk yang bernyawa lainnya. Ya, senjata berupa amigdala itulah yang menjadi modal dasar bagi setiap orang dalam menjalankan dan mengisi kehidupannya sebelum maut menjeput. Suatu ruang akan selalu terisi selama manusia masih bernafas, ruang yang tidak ada habisnya untuk diisi.

Ada suatu kisah yang diambil dari sebuah buku yang berjudul Negeri Sufi (Kisah-kisah terbaik) yang ditulis oleh Mojdeh Bayat Muhammad Ali Jammia. Sebuah kisah dari Fariduddin ‘Aththar seorang penyair mistik dan syekh sufi Persia yang hidup pada adab ke-12 M.

Seorang Darwis yang sudah lama mengarungi gurun sahara yang keras akhirnya tiba disebuah desa berperadaban setelah melakukan perjalanan panjang. Desa itu bernama Bukit Pasir, yang panas dan kering kerontang. Kecuali hanya rumput kering dan semak belukar untuk makanan ternak, nyaris tidak dijumpai adanya tanaman hijau-hijauan. Beternak adalah mata pencaharian utama penduduk desa Bukit Pasir itu. Sekiranya kondisi tanahnya berbeda dan tidak demikian, mereka pastilah bisa bertani dan bercocok tanam. Dengan sopan sang darwis pun bertanya kepada seorang yang lewat ihwal apakah ada tempat untuk mencari makan dan menginap di desa itu. “Baiklah,” kata orang itu sambil menggaruk kepalanya. “Kami tidak punya tempat seperti itu di desa kami ini, tetapi saya yakin Syakir akan sangat senang menjamu anda malam ini”. Kemudian orang itu menunjukan arah menjuju peternakan milik Syakir yang namanya bermakna “orang yang senantiasa bersyukur kepada Tuhan”.

Dalam perjalanan menjuju peternakan, sang darwis berhenti di sekelompok kecil orang-orang tua yang tengah mengisap pipa untuk memastikan arah yang ditujunya. Dari mereka, ia mengetahui bahwa Syakir adalah orang terkaya di daerah itu. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa Syakir mempunyai lebih dari seribu binatang ternak – “Dan ini melebihi kekayaan Hadda, yang tinggal di desa sebelah”.

Tak lama kemudian, sang darwis pun berdiri di depan rumah Syakir, sambil mengaguminya. Ternyata Syakir adalah seorang yang sangat baik dan ramah. Ia meminta agar sang darwis menginap beberapa hari dirumahnya. Istri dan anak-anak perempuan Syakir juga sangat baik dan ramah. Mereka memberikan layanan yang amat baik. Pada hari terakhir ia tinggal dirumah itu, mereka bahkan member sang darwis bekal makanan dan air minum dalam jumlah besar dan banyak untuk melanjutkan perjalannya.

Dalam perjalanan kembali mengarungi gurun sahara, sang darwis bingung tak bisa memahami makna dari ucapan terakhir Syakir sewaktu berpisah. Sang darwis mengatakan “Syukurlah, Engkau memang beruntung”.

“Akan tetapi, wahai darwis,” jawab Syakir, “janganlah tertipu oleh penampilan, sebab inipun akan berlalu” .

Selama bertahun-tahun menempuh jalan sufi, sang darwis pun paham bahwa segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam perjalanan memberikan pelajaran yang mesti dipetik hikmahnya dan pantas direnungkan. Sesungguhnya, inilah alasan mengapa ia melakukan perjalanan – untuk belajar lebih banyak lagi. Kata-kata Syakir mengusik benak dan pikirannya, dan ia tidak yakin ia telah benar-benar memahami maknanya.

Ketika ia duduk dibawah bayangan sebuah pohon untuk menunaikan shalat dan merenung, ia pun ingat dari latihan sufi yang ditempuhnya bahwa jika ia diam dan tidak buru-buru mengambil kesimpulan, maka pada akhirnya ia akan menemukan jawaban. Sebab, ia telah diajar untuk diam dan tidak melontarkan pertanyaan; manakala tiba waktunya beroleh pencerahan, ia akan tercerahkan. Karena itu, ia menutup pintu pikirannya dan menenggelamkan jiwanya dalam meditasi atau renungan.

Ia menghabiskan lima tahun waktunya dengan mengembara dan bertualang ke berbagai negeri, bertemu dengan berbagai macam orang, dan belajar banyak dari pengalamannya. Setiap petualangan memberikan pelajaran baru yang bisa dipetik hikmahnya. Sementara itu, sebagaimana dituntut dalam kebiasaan sufi, ia tetap diam dan memusatkan diri pada kata hatinya.

Suatu hari, secara tak terduga, sang darwis kembali ke Bukit Pasir, kota yang pernah disinggahinya beberapa tahun sebelumnya. Ia ingat pada sahabatnya, Syakir, dan bertanya tentang dirinya. “ia tinggal didesa sebelah, sepuluh mil dari sini. Ia bekerja pada Haddad,” jawab seorang penduduk desa. Sang darwis yang terheran-heran pun ingat bahwa Haddad adalah seorang kaya lainnya didaerah itu. Merasa gembira lantaran akan berjumpa kembali dengan Syakir, ia segera pergi ke desa sebelahnya.

Setibanya dirumah Haddad yang megah, sang darwispun disambut oleh Syakir, yang kini tampak lebih tua dan berpakaian lusuh dan compang-camping. “Apa yang terjadi pada dirimu?” Tanya sang darwis penasaran. Syakir mengatakan bahwa tiga tahun sebelumnya terjadi banjir besar yang memusnahkan ternak dan rumahnya. Karenanya, ia dan keluarganya pun menjadi pelayan dan bekerja pada Haddad, yang selamat dari musibah banjir dan kini menjadi orang yang paling kaya di daerah itu. Hanya saja, roda nasib ini sama sekali tidak mengubah kebaikan dan keramahan Syakir dan keluarganya. Mereka menjamu sang darwis di pondoknya selama beberapa hari, dan memberinya makanan serta air ketika pergi melanjutkan perjalanan kembali.

Ketika hendak berangkat pergi, sang darwis berkata, “Aku turut bersedih atas apa yang telah menimpa dirimu dan keluargamu. AKu tahu bahwa Allah mempunyai alasan bagi apa yang dilakukan-Nya.”

“Oh, tapi ingat, ini pun akan berlalu,” jawab Syakir.

Suara Syakir ini terus bergema ditelinga sang darwis. Wajah ramah dan penuh senyuman serta ketenangan orang ini tak penah hilang dari ingatannya. “Maksud apa yang terkandung dalam ucapannya kali ini?” Sang darwis kini tahu bahwa kata-kata terakhir Syakir pada kunjungan sebelumnya telah mengantisipasi berbagai perubahan yang sudah terjadi. Akan tetapi, kali ini, ia ingin tahu apa yang menyebabkan Syakir mengemukakan ucapan optimis seperti itu. Karenanya, lagi-lagi, ia membiarkannya berlalu dan tidak memperdulikannya. Ia lebih suka menunggu jawabannya.

Bulan dan tahun pun berlalu, dan sang darwis, yang semakin bertambah tua, terus melakukan perjalanan tanpa pernah berfikir merasa lelah. Anehnya, pola perjalanan yang ditempuhnya selalu membawanya kembali kedesa tempat tinggal Syakir. Kali ini, sesudah tujuh tahun berselang dia kembali ke Bukit Pasir dan Syakir pun menjadi kaya kembali. Kini ia tinggal dirumah utama Haddad dan bukan dipondoknya yang kecil. “Haddad menginggal beberapa tahun lalu,” Syakir menjelaskan, “dan k arena ia tidak punya ahli waris, ia memutuskan untuk mewariskan kekayaanya kepadaku sebagai balasan atas pengabdian setiaku”.

Ketika kunjungan hampir berakhir, sang darwis bersiap-siap melakukan perjalan agungnya: ia akan mengarungi gurun sahara untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dengan berjalan kaki – sebuah tradisi yang sudah lama dilakukan oleh rekan-rekannya. Perpisahannya dengan sahabat tuanya itu tidak berbeda dari yang lainnya. Syakir mengulangi ucapan kesukaannya, “Ini pun akan berlalu”.

Sesudah menunaikan ibadah hai, sang darwis melakukan perjalanan ke India. Ketika kembali ke tanah kelahirannya, Persia, ia memutuskan mengunjungi Syakir sekali lagi guna mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Karenanya, ia berangkat lagi ke Desa Bukit Pasir. Alih-alih berjumpa dengan sahabatnya, Syakir, disana, ia justru menemukan sebuah nisan sederhana yang bertuliskan, “Ini pun akan berlalu.” Kali ini, ia lebih kaget dari waktu-waktu sebelumnya, ketika Syakir sendiri yang mengucapkan kata-kata itu. “Kekayaan datang dan pergi,” pikir sang darwis dalam hati, “tapi bagaimana mungkin sebuah makam bisa berubah?”.

Sejak saat itu, sang darwis bertekad mengunjungi makam sahabatnya setiap tahun, ketika ia merenung berjam-jam dimakam Syakir. Akan tetapi, dalam salah satu kunjungannya, ia mendapati bahwa kuburan dan makam itu telah hilang, tersapu oleh banjir. Kini, darwis tua itu kehilangan satu-satunya jejak seorang anak manuasia yang telah mengukir pengalaman hidupnya begitu istimewa. Sang darwis pun diam direruntuhan kuburan itu selama berjam-jam sambil memandang tanah. Akhirnya, ia menengadahkan kepalanya kelangit dan kemudian, seakan-akan menemukan makna yang lebih agung, menganggukan kepalanya dan berkata lirih, “Ini pun akan berlalu”.

Lebih seratus Karya dari Faridudin ‘Aththar, dan telah menjadi model bagi banyak syekh sufi terkemuka lainnya terutama Jalaluddin Rumi, penyair sufi paling besar dan pendiri Tarekat Darwis Berputar.

Dunia ini ibarat tenda kafilah dengan dua pilar : engkau masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu lainnya. Engkau tenggelam dalam tidur kelalaian dan tidak mengetahui apa-apa; mau tak mau, engkau bakal mati. Entah engkau pengemis atau raja…..akhirnya engkau pasti akan berpisah dari apa saja yang engkau miliki. Meskipun engkau seorang Iskandar Agung, dunia sementara ini kelak akan memberikan kain kafan bagi segenap keagunganmu yang bagaikan Iskandar itu”.

Ujar seorang fariduddin ‘Aththar.

Mati akan datang takut ataupun tidak, tetapi yang terlebih kita ditakutkan hidup kita teriisi oleh apa

Iwan Abdulrahman dalam pembuka lagunya.

Komentar

Postingan Populer