Dari Si Donat Orange ke Hojo

Oleh : Bayu Bharuna

Kala pertama diperkenalkan kepada olahraga arung jeram saya dengan gamang mengikuti materinya. Tak terbayangkan harus berenang di sungai-sungai besar saat kemampuan berenang saja sangat minim. Maka dengan mata nanar saya melihat arus yang bergolak liar di sungai Citarum. Namun sebagai anggota muda, ketika harus memilih antara mengikuti Pendidikan Spesialisasi Arung Jeram atau Pendidikan Spesialisasi Caving, maka pilihannya sudah jelas. Tak tersersit bila saya harus berada puluhan jam di kegelapan bawah tanah dengan kondisi basah dan penuh lumpur. Lalu mulailah sebuah perjalanan waktu yang mengharu biru untuk mulai merintis kegiatan arung jeram dikampus.

Terdapat ikatan emosi yang kuat antara rafter dengan perahu yang ditumpanginya, seperti yang akan kita rasakan pada kendaraan kesayangan anda. Seorang rafter yang hanya menikmati permainan jeram saja tanpa ingin memelihara perahu dan peralatannya menurut saya bukanlah seorang rafter sejati. Maka di awal 90-an itu kami mengenal benar setiap lubang yang ada di perahu LCR kuning yang sering disebut Si Donat, Avon Dek dan sebuah landing craft raksasa yang disebut Si Mammoth.

Ketiga perahu itulah dulu yang tersedia kala mulai menggeluti arung jeram dimana si Donat Orange lah paling sering turun ke sungai karena memang terbilang paling sehat dibanding yang lain. Sementara Avon Dek hanya layak untuk turun di Citarum dan air tenang. Si Mammoth lebih parah lagi, setelah beberapa kali dicoba diperbaiki tak kunjung membaik.

Kala itu hanya tiga obsesi kami dalam berarung jeram yaitu memiliki perahu selfbailing, mengikuti Kejuaraan Nasional atau ekspedisi ke sungai besar. Kala mengikuti Kejurnas di S. Ayung, Bali dan melihat berderet-deret perahu selfbailing merek Momentum, rasanya hati ini panas untuk segera memiliki perahu serupa. Di akhir umur petualangan saya di kampus akhirnya didapatlah sebuah perahu selfbailing Tigershark yang didamba itu.

Sebagian merasakan rasa haru yang aneh mengingat perjuangan lima tahun untuk mendapatkannya akhirnya berbuah juga. Dengan penuh rasa sayang saya membelai tiap lekuk boeingnya dan teringat teman-teman PS Arungjeram yang sebagian telah tak tampak lagi berkegiatan. Pasti mereka bangga bahwa kami kini sudah memiliki sebuah TigerShark.

Namun saya pun tak sempat merasakan sensasi perahu itu karena sudah keluar dari kehidupan kampus, hanya sekali saja sempat merasakan manuvernya saat melatih para junior di Citarum. Generasi TigerShark akan meneruskan sepak terjang kami di kampus.

Setelah TigerShark kemudian armada perahu karet di kampus semakin bertambah dengan masuknya Base Marine dan Si Rahong. Tentu saja kini semuanya sudah merupakan era selfbailing, tak seperti dulu yang harus menyiapkan ember di perahu untuk menimba air.

Berturut-turut kemudian TigerShark dan Base Marine memasuki pensiun, namun darah segar arung jeram terjaga dengan masuknya perahu Zebec buatan Korea. Yang terakhir masuk menjadi anggota paling bungsu adalah Hojo yang juga buatan Korea. Saya tak sempat larut di sungai dengan generasi TigerShark, Base Marine, si Rahong hingga Zebec. Ah..terkadang saya hampir tak dapat memaafkan kealpaan pada kegiatan arung jeram pada tahun-tahun itu. Walau bisikan-bisikan halus sang dewi sungai kerap terasa memanggil dan menggelisahkan hati.

Ketika untuk pertama kalinya kembali turun ke sungai Cikandang bersama rekan-rekan di kampus –setelah empat belas tahun- saya dapat merasakan kembali sensasinya. Seakan dalam diri saya kembali mengalir sungai-sungai darah yang bermuara menjadi sukma yang hidup. Semoga saja saya kini dapat lebih banyak waktu bercengkerama dengan generasi Hojo.

Komentar

Postingan Populer