Belum Ada Tempat untuk Jill



Jill seorang gadis yang manis, tercatat sebagai mahasiswi tingkat dua. Tubuhnya yang mungil tak dapat menyembunyikan kelincahan semangatnya. Mukanya kerap terlihat berseri-seri saat berada di alam bebas seolah inilah tempat yang ia dambakan selama ini. Siapapun akan terkesan dengan senyumnya yang kerap mengembang diantara hutan dan pegunungan.
Namun hari itu semangatnya sudah meredup dari tubuh mungilnya. Cahaya di wajahnya sudah memudar sejak beberapa hari yang lalu. Badannya sudah terlampau lemah untuk menopang semangatnya yang meluap-luap. Ia masih ingin menaklukan medan dan cuaca yang ekstrim saat itu di Situ Patengan, namun ketahanan tubuhnya sudah sampai di batas maksimal. Jill mulai menyadari keterbatasan fisiknya dalam berkegiatan di alam bebas. Hingga detik terakhir ia masih berharap ada sisa-sisa tenaga muncul yang akan membuatnya kembali berdiri tegak untuk menyibakkan kabut yang menyelimuti danau.
Namun tak ada lagi tenaga yang berdenyut dari sel-sel ototnya. Sinyal-sinyal perjuangannya mulai datar lalu perlahan memudar. Kabut di sekelilingnya kini terasa begitu dingin, rasa beku mulai meremukkan pertahanan tubuhnya satu demi satu. Awan putih  kini perlahan tapi pasti mulai melahapnya hidup-hidup. Tak terasa beberapa tetes matanya jatuh lalu tak tertahan lagi menjadi isak yang menjadi-jadi. Butiran-butiran air yang hangat itu  terasa lebih pedih daripada sayatan pisau. Jill sadar sudah saatnya ia mendengar suara tubuhnya sendiri yang memohonnya untuk berhenti berupaya. Ia harus menyerah.

Kegundahan pelatih
Sebagai pelatih yang berpengalaman, Flora tahu tahu betul apa yang dialami Jill. Ia sudah memprediksi hal itu beberapa hari yang lalu. Hanya saja ia kagum pada semangat juang yang ditunjukan gadis mungil itu. Semangat pantang menyerah itu mengingatkan pada dirinya sendiri beberapa tahun yang lampau. Flora tahu, bila saja ia dalam posisi gadis itu maka ia masih akan sanggup bertahan hingga hari terakhir di gunung hutan. Namun kini hanya motivasi yang bisa ia berikan pada gadis ringkih itu.
Siapapun tak meragukan Flora, salah satu eksplorer terbaik di perhimpunan. Tak ada medan petualangan yang bisa menahannya mulai dari kegelapan gua, tebing tinggi, jeram liar, gunung yang membekukan hingga muara pantai yang meluap-luap. Semua selalu dapat dilaluinya dengan applaus dari rekan yang lain. Namun kini bahkan motivasi yang diberikan Flora tak mampu membuat gadis itu kembali berdiri tegak. Orang yang paling membutuhkan pertolongannya itu hanya bisa terduduk tanpa daya dibelai serinai gerimis yang turut mencoba membesarkan hatinya yang remuk redam.
Sejak awal memasuki pegunungan di Bandung Utara, sebagai kesiswaan Flora sudah berusaha semampunya melindungi gadis mungil itu. Hanya atas rekomendasinya, Jill dapat bertahan menempuh gunung hutan hingga sekarang. Bila bukan atas proteksinya hampir pasti ia sudah pulang di hari-hari awal. Namun kini Flora dapat merasakan tubuh Jill bagai sebatang lilin yang menyala gemetar karena tak kuat diganggu angin yang berhembus kencang. Jill mencoba melawan derunya angin dengan sekuat tenaga, namun takdirlah yang membuat dirinya sebatang lilin kecil yang menari-nari. Bukan api unggun besar yang berkobar megah.
Kini Flora sampai pada suatu titik dimana ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Sebuah tembok keputusasaan telah dirasakan pula olehnya dalam melindungi anak ini. Matanya berkaca-kaca dan dengan kalimat yang tersendat  ia menyampaikan kepada komando diklat bahwa dirinya tak dapat lagi memberi rekomendasi pada siswa itu. Sebuah rekomendasi sendu yang enggan didengar oleh Adjat dan Bar sebagai Danlat dan wadan. Malam-malam sebelumnya, bersama Susy/medis mereka sudah bolak-balik ke Bandung membawa Jill ke dokter. Hanya untuk menunggu ada kekuatan yang muncul dari tubuh mungil itu. Namun kini apa boleh buat.
“Kamu yakin, Flor?” tanya Adjat lirih, hampir tak terdengar.

“Iya..” jawab Flora, tak bisa melanjutkan kalimat. Matanya makin memerah.

Pagi yang pucat
Apel pagi yang digelar dalam cuaca yang berkabut di tepi danau terasa mengaduk emosi. Desir-desir angin yang menggigit permukaan kulit kali ini terasa membuat miris. Rasa beku yang biasanya tak saya hiraukan terasa menjalari tubuh. Suasana di situ Patengan yang berkabut menambah kesan dramatis saat mengingatnya. Belasan tahun setelah hari tersebut saya masih bisa merasakan desir angin yang menampar di pagi yang pucat itu.
Pagi-pagi sekali sebelum apel dimulai empat belas tahun lalu, para pelatih yang berkumpul di situ Patengan dengan enggan terlibat perbincangan yang getir. Semua tahu safety prosedur yang harus dijalankan, hanya saja hampir tak tega mengatakannya. Tahun lalu Jill pun berusaha mengikuti diklat yang sama. Kala itu ia hanya bertahan hingga gunung hutan di Situ Lembang, untuk kembali mengikuti diklat lagi pada tahun ini. Kini saat kedua kalinya ia mencoba, haruskan mereka kembali memulangkannya? Sayangnya iya, namun dengan emosi yang beraduk. Andai ia menolak dan menangis sekerasnya pun mereka akan tetap memulangkannya. Itulah yang disebut safety prosedur.
Hanya saja kala itu kami masygul mengapa tubuh yang lemah harus menjadi halangan untuk mencintai alam. Bukankah kita sebenarnya dapat menarik pelajaran dari tekad yang hampir tak berujung untuk mencintai alam – dari fisik yang lemah itu. Barangkali suatu saat pola diklat di kampus dapat mengakomodasi insan-insan seperti Jill, yang sudah berusaha berjuang semampunya.

Komentar

Postingan Populer