JEJAK KAKI SABA HALIMUN (BATU DAYA/BATU UNTA)


W

ah gila kamu Mas, kata-kata itu terlontar dari Bonk kepadaku sambil geleng-geleng kepala ketika dia baru sampai di tempat penambatanku. Aku langsung teringat bahwa sebelumnya aku tidak begitu yakin ketika memasang beberapa piton di rekahan dinding, terlintas olehku ketika aku memasang pengaman buatan “artificial” bahwa jikalau pengaman yang kupasang itu terlepas 10 meter jarak lintasan dikali dengan 2 maka sejauh itu aku akan jatuh bebas wuiiiiih ngeri banget……..terbayang olehku di pitch ke 7 tersebut ketika lagian memang ketika aku hampir saja jatuh tak kuat tangan dan kakiku menahan keseimbangan tubuhku tetapi dikarenakan dengan penuh kesadaran bahwa aku tidak begitu yakin dengan kedua pengaman yang dipasang maka keluarlah semacam tenaga yang didorong oleh ketakutan akhirnya aku bisa lolos dari jatuh. Pengaman yang kamu pasang perunggu semua Mas, begitu kata Bonk sambil menghela napas, aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali sambil cengegesan he.he.h.e. jawabku. Seperti biasa Bonk hanya bisa geleng-geleng kepala tanpa ada suatu penghakiman/judgement kepadaku. Itulah salah satu yang aku sukai dari seorang pribadi Bonk yang aku kenal selama ini. Pertama kali aku mengenal Bonk adalah pada saat Pra-Pendidikan dan Latihan Dasar, tepatnya setiap latihan bina jasmani. Pada saat calon siswa tengah cape-capenya boleh dibilang sekarat melakukan bina jasmani, datanglah seorang dengan perawakan badan besar dan kepala botak dengan gaya ketawa-ketawa sambil ngacai menggunakan setelan celana training “merecet” merek adidas (belakangan aku ketahui itu semacam celana kebangsaan para pemanjat jaman dahulu (jadul), dengan enaknya orang ini bertanya sedang apa tuan? Mhmmm…menyebalkan sekali makiku pada saat itu dalam hati. Desas-desus yang beredar di calon siswa pendidikan pada saat itu adalah cerita mengenai orang ini tentang perilakunya pada saat di medan operasi…ihhh menyeramkan sekali, tak usah aku ceritakan takut kena sensor. Pertemuan selanjutnya adalah ketika Diklatdas di medan operasi panjat tebing, lagi-lagi si badan besar dan kepala botak muncul sebagai pemberi materi. Tetap memakai celana training “merecet” kebanggaanya, bedanya kali adalah tanpa menggunakan baju alias “buligir” dalam bahasa sundanya. Terpangpanglah suatu pemandangan seni di sekujur tubuhnya, sebagian tubuhnya dipenuhi dengan tato. Semakin bergetarlah hati para siswa pada saat itu tetapi kemudian ternyata cerita mengenai orang ini tidak sedikitpun terjadi selama pendidikan itu.

Bulan Juni 2007 kami yang terdiri dari Aku, Bonk, Eris, Rahwa melakukan kegiatan pemanjatan atau istilah kerennya Rock Climbing di Provinsi Kalimantan Barat yaitu di Batu Daya atau dikenal juga dengan Batu Unta. Kegiatan ini dilakukan sebagai pelipur lara dari tidak terlaksananya ekspedisi Himalaya yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun itu. Awalnya Bonk yang sebelumnya merupakan Project Manager dari Ekspedisi Himalaya menawarkan alternative kegiatan lain pengganti kegiatan ekspedisi, ditawarkanlah kepada seluruh anggota aktif yang tertarik untuk mengikuti kegiatan pemanjatan tersebut, dari beberapa kandidat yang tertarik terpilihlah Aku dan Eris sebagai atlet untuk mengikuti kegiatan tersebut. Tak berselang lama kemudian, Rahwa yang selama ini merupakan simpatisan organisasi PALAWA UNPAD yang merupakan anggota dari Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Propinsi Jawa Barat menyatakan ketertarikannya untuk terlibat sebagai atlet dari kegiatan ekspedisi ini maka diputuskanlah oleh Bonk sebagai Project Manager bahwa jumlah orang yang akan menjalani kegiatan pemanjatan ini adalah 4 orang. Belakangan aku baru tahu bahwa sebelumnya memang Bonk pernah akan melakukan pemanjatan ke Batu Daya/Unta, dikarenakan adanya tragedi kecelakaan yang menimpa dan menyebabkan patah tulang kaki Bonk maka gagalah kegiatan tersebut. Persiapan fisik dari ekspedisi Himalaya merupakan modal dasar bagiku mengingat mepetnya waktu yang dipunyai menuju hari pemberangkatan. Persiapan teknis yang dilakukan lebih kearah teknis pemajatan dan teknis penaikan dan penurunan objek (barang atau orang) yang lebih dikenal dengan hauling system dan lowering System. Tentunya tak lupa modal dasar yang paling utama bagi kami adalah semangat DIKLTASDAS yang merupakan parameter bagi setiap anggota organisasi. Tertanam didalam sanubari yang paling dalam bahwa DIKLATDAS saja bisa kita lalui apalagi kegiatan di luar itu. Selain itu juga selalu terngiang di setiap benak anggota kata-kata dari seorang Pembina Kang Syarif Barmawi “Jika tak mampu berlari maka berjalan, jika tak mampu berjalan maka merangkak, jika tak mampu merangkak maka merayaplah, jika masih tidak bisa merayap maka pasrahkan dan berdoalah kepada Tuhanmu”.

Hari pemberangkatan pun dimulai, dengan bekal latihan dan do’a dari orang tua maka kami berangkat menuju rumah Bonk di Komplek Auri daerah Pancoran Jakarta Selatan . di Jakarta yang kita lakukan adalah pencarian tambahan dan dan memperlengkap peralatan yang diperlukan sebelum berangkat ke Pulau Borneo. hari pertama di Jakarta dilewatkan dengan pergerakan ke Kedutaan besar Canada dimana sebelumnya Bonk sudah memasukan proposal pencarian dana ke Kedutaan tersebut, kita bertemu dengan dengan perwakilan dari kedutaan dan secara terbuka permintaan di lakukan oleh perwakilan tersebut dengan alasan bahwa tidak ada anggaran untuk kegiatan semacam tersebut. Selanjutnya kita menuju ke pasar perloakan besi didaerah Salemba dengan tujuan untuk membeli ramset dan mata bor, setelah muter-muter di pasar tersebut barang yang kita cari tidak jua ketemu akhirnya kita sepakat memutuskan dengan berbekal 50 mata bor yang dibawa dari Bandung. Setelah itu kita menuju salah satu agen penjualan tiket kapal laut di daerah Cililitan dan diteruskan dengan membeli perbekalan makanan yang akan dijadikan bahan makanan di medan operasi. Besok paginya kita melakukan packing, kita mengeluarkan seluruh perlengkapan tempur yang akan di bawa ke medan operasi, suatu pemandangan yang tidak pernah aku mungkin Eris dan Rahwa juga liat, bahwa hampir setengah garasi mobil dari rumah Bonk terpenuhi dengan barang-bawaan yang akan kita bawa. Barang-barang tersebut bertambah dari bawaan yang kita bawa dari Bandung dengan alat-alat panjat yang dipunyai oleh Bonk. Total alat yang ada dihadapanku masih jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan seluruh peralatan pemanjatan yang dipunyai organisasiku gumanku dalam hati. Masih belum yakin dalam hatiku bahwa seluruh peralatan yang ada dapat di masukan kedalam ransel yang kita bawa. Ransel yang Aku, Eris dan Bonk bawa kapasitasnya adalah + 80-90 lt sedangkan yang Rahwa bawa hanya cukup untuk membawa + 60-65 lt ditambah dengan telebug (tempat bawaan yang biasa dipakai oleh militer yang bentuknya bulat memanjang). Pada akhirnya semua barang bisa masuk kedalam ransel tetapi alamak jangankan untuk membawanya mengangkatnya saja kita sudah keteteran, namun tetap dengan semangat juang yang kita bawa itu bukan suatu masalah yang berarti (mungkin ceritanya akan lain jikalau aku yang membawa ransel Bonk beratnya bukan minta ampun lagi melainkan minta bebas saja). Komposisi dari berat masing-masing ransel itu yang terberat adalah ransel Bonk dikarenakan ampir ¾ kapasitas ransel diisi oleh alat-alat yang terbuat dari barang2 besi , Aku dan Eris boleh dikatakan sama berat dari ranselnya ¼ memuat peralatan yang terbuat dari besi selebihnya adalah tali-talian dan bahan-bahan makanan, dan sudah dapat diduga ransel yang dibawa oleh Rahwa adalah yang teringan dari semuanya dikarenakan kapasitas ranselnya yang memuat lebih kecil dibandingkan semua anggota tim.

Tidak ada yang special dalam pemberangkatan menuju Kalimantan barat, hanya ada cerita bahwa aku mabuk laut dikarenakan tidak terbiasa dengan perjalanan Laut yang memakan waktu 30 jam, selebihnya waktu aku habiskan diam ditempat sambil membaca buku Emha Ainun Najib yang di bawa Rahwa, itulah satu-satunya hiburan bagiku selama perjalanan di laut. Check poin kita setelah sampai di Kalimantan Barat adalah rumah Kakek/Nenek Bonk, dikarenakan hari sudah larut malam tidak memungkinkan bagi kita untuk mencari alamat maka keluarlah jurus ampuh setiap petualang yaitu menggelar matras untuk istirahat kebetulan di pekarangan masjid. Ketika bangun hari sudah pagi, ternyata letak rumah Kakek/Nenek Bonk tidak berada jauh dari masjid yang menjadi tempat istirahat kita. Baru kita sadari di pagi hari bahwa berita di media terkait dengan kabut asap tebal memang terbukti adanya. Pemandangan yang bisa kita liat hanya berjarak tak lebih dari beberapa ratus meter. Gila kataku, perbuatan siapakah ini sehingga membuat banyak orang terkena dampak ini sampai-sampai negeri tetangga pun kebagain jatah asapnya. Setelah beramah-tamah maka tak lupa kita bersilaturahmi ke teman-teman Mahasiswa pecinta Alam Universitas Tanjung Pura (MAPALA UNTAN). Beberapa bulan sebelumnya teman-teman dari Untan ini mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh organsasi kami. Setelah terjadi pembicaraan dengan teman-teman dari Untan baru kita ketahui beberapa tahun sebelumnya ada teman-teman sejawat kita di Pecinta Alam dari salah satu Universitas Swasta Jakarta yang melakukan pemanjatan ke Batu Daya/Unta. Data sebelumya yang kita peroleh adalah data lama sekitar 10 tahun kebelakang. Data itu adalah data-data dari organisasi Pendaki Gunung dan Penempuh Rimba tertua di Indonesia, selanjutnya data dari Mahasiwa Pecinta Alam Fakultas Peternakan di Universitas kami dan data dari tim rescue dari tim Perguruan Pemanjat Tebing dari bandung yang melakukan proses evakuasi korban dari Mahasiwa Pecinta Alam Fakultas Peternakan di Universitas kami. Yang menarik ada 2 bahan informasi yang kami peroleh dari teman-teman pemanjat yang pernah melakukan pemanjatan di Batu Daya/Unta yaitu pemakaian pengaman buatan/”artificial” non bor yang banyak digunakan dan versi lainnya adalah “bor to bor” dimana pemakaian bor yang dominan digunakan. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari teman-teman di Untan bahwa teman-teman pemanjat dari Universitas Swasta Jakarta pun sama mengalami kecelakaan jatuh sehingga tidak menjutkan kegiatan sampai akhir. Selain itu, beberapa hari sebelumnya ada tim mahasiwa dari Bandung juga yang sempat singgah di sekertariat teman-teman dari Untan, mereka bertujuan ke Malaysia untuk melakukan eksplorasi gua, belakangan aku ketahui bahwa yang melakukan kegiatan tersebut adalah temanku juga dari salah satu MAPALA swasta Universitas di Bandung.

Setelah beberapa hari kami menjutkan perjalanan. Target lokasi kita selanjutnya adalah Sungai Matan, sungai ini adalah pintu masuk menuju lokasi pemanjatan. Dengan menggunakan Longboat kita menuju Sungai tersebut, pertama kalai dalam hidupku aku menggunakan media transportasi air seperti ini,dengan lebar sungai yang besar sekali, mengasyikan juga pikirku dalam hati. Di Pulau Jawa hampir boleh dikatakan tidak ada media transportasi sungai seperti ini. Perjalan menuju Sungai Matan dari Pontianak menempuh waktu 3 jam. Setelah sampai di awal Sungai Matan kami melanjutkan perjalanan menuju suatu tempat yang jujur lupa namanya dimana dari tempat ini kita akan melanjutkan perjalanan melalui jalan darat. Selama perjalanan di Sungai Matan ini awalnya kita disuguhkan dengan hutan disekitar sungai yang rapat, tetapi semakin jauh kedalam baru keliatan suatu pemandangan yang sangat tragis, hutan-hutan gundul dan bekas-bekas pembakaran ladang/hutan dimana-mana. Sungguh pemandangan yang membuatku sedih melihatnya. Eksploitasi alam tanpa memikirkan impact dan keberlangsungan bagi generasi-generasi berikutnya di masa yang akan dating. Semoga keserakahan ini cepat berkahir gumanku dalam hati. Sesampainnya di tempat sebelum menuju Camp21, kita melanjutkan perjalanan menggunakan jalan darat. Memalui jurus sosialisasi pedesaan (sosped) yang selama ini kami dapatkan di organisasi maka kita bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan fasilitas salah satu perusahaan perkebungan di daerah tersebut. Menggunakan 2 buah jip kami diantar menuju Cam21. Dinamakan Camp21 dikarenakan jaraknya yang menempuh 21 km. uniknya selama perjalanan menjuju Camp21 ini adalah debu jalanan yang sangat tebal dikarenakan jalanan yang dilalui adalah tanah merah yang kebetulan juga saat itu adalah musim kemarau sehingga minta ampun debu yang terjadi akibat sentuhan ban kendaraan dengan tanah tersebut. Satu hal aku adalah satu-satunya yang memiliki rambut panjang selebihnya plontos semua, sudah dapat di duga seperti apa kotornya si gondrong ini, apa perduliku gumanku dalam hati lagian idaman hati masih berada di negeri antah barantah pikirku he..he…he… Singkat cerita kita sampai di Camp21 antara waktu duhur dan ashar, sekali lagi dengan menggunakan jurus ampuh sosialisasi pedesaan (sosped) dan sedikit meyakinkan dengan mengeluarkan Kartu Tanda Mahasiwa (KTM) dan surat jalan organisasi akhirnya kita diperbolehkan untuk menginap di Camp21.

Camp21 ini semua bangunannya merupakan bangunan setengah jadi yang semua bahannya terbuat dari kayu. Uniknya, situasi di Camp21 ini seperti suasana “Koboy” persis dengan yang sering aku liat di film-film koboy waktu kecil. Serasa jadi koboy beneran disini orang-orang duduk diberanda, yang membedakan adalah tidak adanya kuda, yang ada adalah desing mesin-mesin truk pengangkut kayu (aku ga tau apakah kayu yang diangkut itu legal atau illegal) lainnya tak ada beda, rumah yang terbuat dari kayu, debu yang beterbangan sangat tebal dan orang-orang yang nongkrong diberanda rumah. Seperti sebelumnya dikarenakan kondisi kabut jarak pandang sama hanya beberapa ratus meter. Sore hari hujan rintik-rintik membasahi daerah ini kurang dari 30 menit, sementara itu teman-teman semua sudah selesai membersihkan diri dengan air seadanya. Ditemani secangkir kopi yang dituangkan oleh Eris (dia terkenal dengan masakannya dengan bahan seadanya untuk meracik makanan dia bisa membuat kita menambah makan sampai berkali-kali), kami berbincang-bincang di beranda sambil meng-gosip sekertaris diperkebunan ini yang agak bahenol sebutan Rahwa dan melihat orang-orang yang baru pulang kerja dari ladang perkebunan. Gadis sekertaris itu cara berbicaranya sangat manja menurut kita dan seolah-olah sedang melakukan tebar pesona terhadap kami (aku ga tau apakah itu salah satu “kegeeran” kita dikarenakan masing-masing dari kita termasuk pemula terhadap mahluk Tuhan yang namanya wanita). Dari sekumpulan rombongan yang datang terlihat satu rombongan yang agak berbeda dari yang lainnya, ada satu gadis yang berambut panjang yang menurut kami seperti menemukan mutiara di tengah hutan, edun aya geulis euy celetuk si Eris. Masing-masing dari kami pasang aksi terutama Eris yang terkenal agak berani sebagai pembuka (terakhir aku tau bahwa setelah pembukan untuk processing dan finishing touch sama denganku tidak ada keberanian). Suit…suit..suit….gadis…kata eris bersuit dan memanggil kearah gadis rambut panjang lurus tersebut, tak disangka tak dinyana gadis tersebut datang menghampiri kami, gila…situasi menjadi tak karuan bak kapal pecah ditengah samudra luas, satu kata panik itulah yang kondisi kami pada saat itu. Selama beberapa tahun kita dilatih,dilatih dan ditempa bahwa salah satu kunci dari kegiatan dialam bebas adalah tidak panik dan tetap tenang ketika ada kondisi permasalahan dilapangan tetapi tetap saja untuk menghadapi mahluk Tuhan yang satu ini jurus supaya tidak panik susah untuk diaplikasikan. Akhirnya gadis itu menghampiri kami, Elisabeth gadis itu memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan, aku tinggal disebelah sambil dia menunjuk lokasi tinggalnya yang persis disebelah tempat nginap yang ditempati kami yang dipisahkan oleh jalan sekitar 3 meter. Kami pun mau tak mau tidak bisa lari memperkenalkan diri kami masing-masing, aku yakin gadis itu tahu persis kekikukan yang alami oleh kami berempat. Setelah itu gadis itu gadis itu mengajak kami berempat untuk main ke tempatnya, serempak kami menjawab masih ada beberapa yang harus diselesaikan (aku yakin dikarenakan tidak adanya keberanian dari kami untuk menindak lanjuti ajakan gadis tersebut).

Setelah hujan rintik-rintik reda terlihatlah suatu pemandangan yang menakjubkan. Kabut asap yang selama kedatangan kami di Pontianak sampai ke tempat ini menjadi teman setia kami berangsur mulai menjauh kami dan menghilang sedikit demi sedikit, jarak pandang menjadi agak jauh dari sebelumnya, terpangpanglah garis batas langit dari suatu perbukitan sekitar 5 km jauhnya di depan kami. Bentuknya mirip dengan punggung unta, ada 2 undakan diatasnya, inikah tujuan kami kesini, Batu Daya atau disebut juga Batu Unta(orang banyak menyebutnya demikian) mungkin dikarenakan kemiripannya dengan 2 undak dipunggung unta. Masya Allah Besar sekali dari bukit ini pikirku tak terbayangkan olehku bahwa kita akan melakukan pemanjatan bukit tersebut baru pertama kali dalam hidupku aku melihat langsung suatu bukit yang besarnya sedemikian besar dan sekarang berada dihadapanku. Sambil bercanda terdengar celetukan Rahwa “serius ieu teh rek manjat rek manjat bukit itu? (serius besok mau memanjat bukit itu). Aku yakin dalam hati masing-masing setiap anggota meyimpan rasa ketakutan tetapi semua itu terimbangi dengan misi suci yang kita emban dari organisasi yaitu melakukan pemanjatan bukit itu. Malamnya kita menghadap Kepala Dusun mengabarkan misi kita yaitu akan melakukan pemanjatan terhadap Batu Daya/Unta dan berniat meminta ijin kepada kepala suku Dayak didaerah tersebut terkait dengan pemanjatan tersebut. Disepakatilah bahwa besok tim ditemani oleh kepada dusun akan menuju ke suku dayak daerah tersebut.

Siang hari berikutnya kita bersama-sama dengan kepala dusun menghadap kepala suku dayak didaerah itu dan sesuai dengan budaya yang ada disuku dayak daerah tersebut diharuskan untuk melakukan ritual dengan tujuan permisi dan keselamatan bagi tim pemanjatan Batu Daya/Unta. Besok siang adalah waktu untuk dilakukan ritual tersebut. Acara ritual itu sendiri harus di lakukan dengan beberapa persyaratan yang terdiri dari ayam yang berwarna hitam, telur ayam, nasi dan semacam lengkuas serta beberapa sayuran yang harus disediakan. Tak terlalu susah mendapatkannya dikarenakan semua bahan persyaratan ada di daerah tersebut kecuali beberapa sayuran yang akhirnya kita dapatkan setelah kita menitip kepada masyarakat setempat yang akan melakukan belanja. Tak lupa kita memberitahukan maksud dan tujuan kedatangan kita ke aparat setempat dalam hal ini Babinsa (TNI).Hari itu kita menginap di rumah kepala suku dayak. Malam harinya kita mengobrol dengan kepala suku, disuguhi hidangan lokal dayak dan secangkir air. Eris dan Rahwa adalah orang yang pertama meminum air tersebut, tak berselang lama aku meminum air yang dihidangkan tersebut. Alangkah kagetnya aku ketika air yang kuminum menyentuh tenggorokanku, terasa panas sekali, tersadar aku bahwa yang aku minum adalah minuman sejenis Arak. Eris dan Rahwa tertawa kearahku sambil mesem-mesem, rupanya mereka dari tadi sudah mengetahui bahwa air yang dihidangkan adalah sejenis arak lokal khas dari suku dayak dan mereka menunggu momen dimana aku mencoba mencicipi air tersebut. Dasar orang gila umpatku dalam hati dan semoga Tuhan mengampuni hal ini doaku. Sudah menjadi kebiasaan di suku dayak bahwa untuk menjamu tamunya yang datang ke daerahnya suguhan air yang dihidangkan adalah sejenis arak selain satu lagi yang tak ingin aku sebutkan dikarenakan aku sendiri tidak yakin dengan hal tersebut (belakangan aku tahu dari teman-teman di Untan bahwa ini berlaku ampir disemua suku dayak di Kalimantan Barat).

Besok paginya kita bersama-sama menuju tempat yang dituju, rombongan ini terdiri dari tiga orang dari dayak (kepala suku dan 2 orang suku dayak setempat), 1 orang Babinsa (TNI) dan empat orang tim kami. Jarak 5 km yang jikalau biasanya bukan merupakan perjalan yang panjang seakan-akan berpuluh-puluh kali lipat jauhnya dikarenakan beban berat yang menempel dipunggung kami.Beberapa kali kami berhenti sambil mencoba melepaskan beban berat di pundak kami. Suatu saat ketika akan melanjutkan perjalanan anggota TNI tersebut menawarkan untuk membantu membawa peralatan yang kami bawa kepada Bonk, tanpa bermaksud untuk merendahkan beban berat yang dibawanya Bonk mempersilahkan kepadanya. Barangpun dicoba diangkat tetapi belum sampai keangkat seluruhnya orang tersebut sudah menurunkan kembali ranselnya, kami semua tertawa kecil dibuatnya sebenarnya sih kepengin tertawa lepas dikarenakan menghargai usaha orang tersebut mau membantu kami dan takut juga sih kalau diinstruksikan push-up jika orang tersebut tersinggung ha..ha…ha..ha. Beberapa meter sebelum sampai dibukit terpangpanglah suatu pemandangan yang membuat kita terperangah memandangnya. Sebelumnya kita sudah dibuat takjub ketika pertama kali melihat batas langit dari bukit tersebut tetapi kali ini kita dibuat terperangah dikalikan sepuluh lagi. Masya Allah besar sekali dan semua batuan dari bukit ini hitam, kebayang panasnya seperti apa diatas sana pikir kami. Akhirnya sampailah kita tepat dibawah Bukit Daya/Unta, dimulailah ritual yang dipimpin oleh sang kepala suku dayak dengan diiringan oleh jampi-jampi berupa bahasa lokal dayak yang tidak kami mengerti. lafadz yang kita mengerti hanyalah kata-kata “pemanjat dari Bandung” yang sesekali terdengar dari sang kepala suku. Setelah upacara ritual yang dilakukan berakhir maka kepala suku dan anggota TNI kembali ketempatnya tak lupa kita mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan sedikit cendera mata yang kami sudah persiapkan dari Bandung.

Kabut asap tebal kembali setia menemani kami kembali seakan berkata “hai aku dating kembali” setelah sehari sebelumnya sempat meninggalkan kita. Yang pertama kami lakukan adalah tetap melihat barang yang telah membuat kita terpesona dari hari kemarin, semacam ada daya magnet tersendiri yang menarik kita untuk secepatnya merangkul batuan-batuan hitamnya. Realitanya barang yang ada dihadapunke sekarang Jauh lebih dasyat dari foto Batu daya/Unta yang selama ini dengan setia menemaniku disaat senda gurau dengan saudara-saudaraku di organisasi, terkadang melamun sendiri saat bertugas jaga sekertariat dan melamun dari awal aku masuk organisasi. Setelah itu aku dan Eris berdua memasang tenda dan hammock untuk persiapan istirahat, mempersiapkan peralatan yang akan dipakai untuk pemanjatan dan memeprsiapkan hidangan untuk jamuan makan bersama sementara Bonk dan Rahwa melakukan pengamatan dititik mana kita akan memulai pemanjatan esok hari. Malam itu kita berempat melakukan diskusi perencanaan untuk kegiatan pemanjatan yang akan dilakukan setelah itu kita beristirahat.

Keesokan paginya Bonk selaku ketua tim kembali melakukan pengamatan untuk titik yang akan dipanjat. Dikarenakan terbatasnya jarak pandang maka diputuskanlah tempat tertinggi dari daerah sekitar kita untuk menjadi entry point dari pemanjatan. Hampir tidak mungkin kita melakukan mapping jalur pemanjatan dikarenakan hal tersebut diatas akhirnya yang menjadi fokus kita adalah bagaimana meminimalkan penggunaan mata bor dikarenakan terbatasnya mata bor yang kita bawa. Bonk dan Eris mendapat giliran pertama untuk pemanjatan tersebut sedangkan aku dan Rahwa mendapat giliran berikutnya. Formasi tim nanti akan dilakukan secara bergantian masing-masing satu pasang. Dengan tim yang berjumlah sedikit diharapkan pemanjatan dapat dilakukan dengan cepat, prinsipnya setelah terjadi titik penambatan tim yang kedua akan melakukan penaikan barang sendangkan tim yang satunya lagi akan meneruskan pemanjatan ketitik yang lebih tinggi. Hari pertaman 2 titik penambatan (pitch) berhasil ditempuh, hari itu diputuskan bahwa kita akan bermalam di tempat kami bermalam sebelumnya. Esok harinya giliran Bonk dan Rahwa melakukan pemanjatan sedangkan aku dan Eris bertugas untuk melakukan pengangkutan barang ke atas. Sebagaian barang kita simpan di bawah, hanya peralatan pemanjatan, bahan makanan dan alat tidur yang akan kita bawa keatas, selebihnya kita tinggalkan dibawah. Membawa barang dimedan miring ternyata tidak semudah yang dibayangkan, fator utama yang menyebabkannya adalah posisi barang yang tidak menggantung (menempel kediding) terkadang barang menyangkut di antara bebatuan atau rumput2an, akhirnya diputuskan ada body yang mendampingi barang tersebut keatas. Pemejatan hari ini berhasil melakukan 2 titik penanambatan keatas. Malam itu kita mulai tidur di titik penambatan ke dua, ada teras kecil cukup untuk kami berempat. Teras itu di lindungi oleh semacam gundukan batu. Lagi-lagi aku merasakan pertama kalinya tidur dengan kondisi badan terkait dengan pengaman yang dipasang atau lebih dikenal dengan istilah buntut sapi (cows tail), sungguh pengalaman yang luar biasa selama hidupku. Dua tali sepanjang titik penambatan terpasang diatas kita dan satu tali pendek dipasang kebawah sebagai tempat buang air besar kita. Menu makanan yang dipersiapkan sebelumnya mulai dibuka, pertama kali dalam hidupku makam malam dengan sajian keju dan kacang mete ditambah campuran energen dan susu, bener-bener mau muntah dibuatnya, sama sepertiku dengan saling berpandangan melahap hidangan malam sedikit-sedikit kecuali Bonk mungkin dia terbiasa dengan hidangan malam seperti itu. Sesuatu hal yang dirasakan merupakan salah satu factor yang paling berat dari pemanjatan ini adalah mengenai makanan. Seperti sebagian besar orang Indonesia bahwa makanan pokoknya adalah nasi, ada pepatah bahwa sebelum makan nasi belum dikatakan sudah makan, rasa lapar pasti akan selalu menghantui. Berdasarkan pertimbangan waktu dan lokasi yang vertical maka memasak nasi adalah sesuatu yang boleh dibilang ribet. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menanak nasi, maka demikianlah harus ada suatu metoda yang simple mengenai makanan selama pemanjatan. Perbekalan makanan yang kami bawa selama pemanjatan dibagi menjadi tiga bagian : makan pagi, makan siang dan makan malam. Menu Makan pagi dilakukan dengan cukup memanaskan air selama kurang dari 10 menit untuk indomie atau sereal dan kopi/susu ditambah dengan roti atau biscuit. Menu makan siang cukup dengan biscuit dan Roti sedangkan untuk makan malam cukup dengan memanaskan air selama kurang dari 10 menit untuk indomie atau sereal dan kopi/susu ditambah dengan keju dan kacang mete. Sudah kebayang didalam benaku eneknya makanan yang menjadi menu selama pemanjatan. Kondisi malam itu kita bersyukur tidak turun hujan, terbayang olehku jikalau terjadi hujan kondisi tidur malam bisa keganggu walaupun kita sudah membekali peratalan fly sheet. Malam ketika kita tidur seringkali terdengar desingan suara batu yang dilemparkan dari arah atas kami, kami sampai saat selesai pemanjatan masih tidak habis pikir siapa yang seringkali melempar batu diatas kami. mungkin itu monyet yang melempar positif thinking kami.

Besok paginya, suasana langit dia atas cerah menyapa kami, seperti hari sebelumnya kicauan burung yang terbang diatas dan suara desing mesin pemotong kayu tetap setia menemani kami. Giliran aku yang menjadi leader dalam pemanjatan dengna belayer Bonk. Sementara Eris dan Rahwa mendapat jatah giliran berikutnya. Sehari sebelumnya 1 titik tambat berhasil kami lakukan, tak lupa sebelum melakukan pemanjatan bergaya dulu sebagai bahan dokumentasi yang bagi kami. Sambil menaiki tali (ascending) menggunakan 2 buah ascender aku mulai menaiki tali yang telah terpasang sebelumnya. 10 meter setelah aku melakukan menaiki tali, terkejut bukan main hatiku melihat pemandangan didepan mataku, tali yang aku naiki kondisinya terluka, ampir setengahnya robek. Terbayang olehku jikalau tali tersebut sempat putus apa yang terjadi dengan diriku, aku dipastikan akan jatuh bebas ke bawah tak tertolong lagi. Cepat-cepat aku memindahkan posisi ascenderku ke atas luka robek tali yang kunaiki sambil berkata Alhamdulillah, Allah masih mengijinkan aku untuk hidup lebih lama lagi, tak lupa kubuat simpul di daerah tali yang robek tersebut. Aku kabari tim yang ada dibawah dan selanjutnya aku pasangkan tali cadangan lainnya untuk menggantikan tali yang robek tersebut. 1 titik tambat berhasil aku lakukan dalam pemanjatan ini. Setelah itu giliran Eris yang akan meneruskan pemanjatan sementara aku dan Rahwa berada di teras. Medan yang akan dilalui Eris sebagian adalah ilalang. Ada yang unik dari si Eris ini, dia terkenal dengan keberaniannya dalam melakukan kegiatan alam bebas, karakter dingin begitulah banyak teman-temannya menyebutnya. 1 titik tambatan berhasil dilakukan oleh Eris dan Bonk hari itu. Malam itu kami tidur di teras malam sebelumnya, seperti biasa hal yang paling membuat malas adalah pada saat jam makam malam, terbayang oleh kami eneknya makanan yang akan dimana, keju + segenggam kacang mede yang sudah dipersiapkan dalam bentuk hari per hari dan terbagi dalam empat bungkus untuk masing-masing personil. Dengan sedikit malas kami menghabiskan menu makan malam itu. Malam kami habiskan dengan mengobrol kesana-kemari, terutama tentang wanita. Ada istilah Bangkok betawi, si jack ah rupa-rupa, cuma tetep aku yang menjadi pendengar yang setia alias kambing conge.

Besok pagi kembali si dingin Eris yang menjadi leader ditemani Rahwa sebagai belayer. Medan termasuk kategori susah, bor to bor menjadi solusi kali ini. Dikarenakan power yang cukup besar maka rahwa ganti menjadi leader menggantikan si dingin. Sekitar 20 meter medan seperti ini, di tengah Bonk memerintahkan untuk dilakukan pendulum (kayak bandul jam dinding), disebelah kiri kami terpangpang crack yang bisa dipasang alat-alat artificial selain bor. Kembali si dingin menunjukan kebolehannya. Sambil bergelantungan berlari dari kiri kekanan dan akhirnya sampai juga, beberapa meter diatas tertambatlah titik tambat berikutnya.Malam itu kami kembali tidur diteras sebelumnya.

Anjing..anjing…anjing begitulah umpatan yang dikeluarkan Rahwa ketika menarik beban barang-barang untuk diangkut keatas. Kurang lebih 5 titik tambat hari ini barang akan di naikan ke atas. Memang terasa berat sekali pengakutan barang pada hari itu, hampir seharian kita menaikan barang ditambah dengan kondisi tebing yang berwarna hitam legam yang menyerap panas, terasa lengkaplah penderitaan kita hari itu. Ampir setiap personal tim menumpahkan umpatannya, yang menarik adalah umpatan si Bonk mother fucker, shit semuanya dilontarkan dalam bahasa inggris, pengen ketawa sebenarnya aku tapi semua itu aku urungkan takut kena push up senior ha.ha.h.a.ha. Hari itu penaikan semua barang selesai dilakukan bada ashar. Niatnya sih mau lanjutin pemanjatan,masih ada waktui sampai sebelum waktu magrib tapi kenyataanya setelah tidur-tiduran akhirnya ketiduran beneran sampai ampir magrib. Seperti hari-hari sebelumnya kembali hidangan makan malam mau tidak mau harus dihabiskan keju+kacang mete itulah teman sejati selama pemanjatan, anehnya tidak kentara sekali pengalihan dari nasi terhadap keju direlasikan terhadap perut, mungkin kebutuhan kalori tercukupi sehingga cacing-cacing didalam perut adem ayem saja begitu pikirku. Bau badan yang lumayan menyengat dari masing-masing menjadi teman setia selama pemanjatan, dah beberapa hari ini kita tidak mandi, jangankan untuk mandi untuk sekedar buang air kecil dan buang air besar saja ngegantung diatas tali, Life on a line.

Mother fucker, dammed, shit kembali bonk mengeluarkan umpatannya ketika lebih dari satu jam dia coba melakukan pengeboran tetapi hasilnya nihil. Batuannya aga sedikit rapuh dihadapan kami, Bonk pun mengusulkan untuk aku mencoba melakukan pemanjatan, ada sujulur kayu yang melintang dan mendoyong ke bawah diatas kami tapi dengan sedikit resiko di lompati, rasio berfikirku mengatakan ketika aku tidak berhasil menggapai dahan tersebut maka beberapa meter aku akan mendapakan free fall, kontan kukatakan aku tidak berani ke Bonk lalu kuusulkan agar Eris saja yang melakukannya dengan keberanian dan kedinginannya Eris akan bisa melakukannya begitu yang ada di pikiranku pada saat itu. Aku turun kebawah untuk digantikan oleh Eris, benar saja tanpa kesulitan Eris dapat melewati tahapan pemanjatan yang dianggap sulit oleh kami, beberapa puluh meter keatas diselesaikan olehnya tanpa ada suatu kesulitan sampai titik penambatan berikutnya. Giliran berikutnya Rahwa yang melakukan leading pemanjatan. Agak salah maksud kayaknya Rahwa menangkap pesan dari Bonk, yang dia lakukan melakukan bor to bor sampai sepuluh bor dia habiskan, padahal maksud Bonk dipanjat aja aga memipir ke seblah kiri atau kanan karena tak lebih dari 15 meter diatas kita medan terjal berupa dinding lurus (face) sudah menanti. Di medan lurus itu peralatan artificial yang kita bawa akan terpakai semua, begitu fikir Bonk. Ketika Bonk mendekati kami dia hanya geleng-geleng kepala karena bor yang tersia hanya cukup untuk descending dan simpanan buat rescue. Akhirnya bonk memerintahkan untuk turun dan titik itulah titik teratas kami dalam pemanjatan di Batu Daya/Unta. Dengan berat hati kami kembali ke shelter ke dua tempat kami menginap semalam. Pemanjatan kami clean sampai shelter . Malam itu adalah malam terakhir kita tidur sambil menggangtung dengan tali malam lebih banyak dihabiskan dengan obrolan ringan kesana-kemari dari kami berempat dengan ditemani oleh besi-besi yang dengan setia menemani kami selama perjalanan.sentuhan angin malam itu seolah mengucap salam perpisahan ke pada kami. Terima kasih Batu Unta atas kenangan perjalanan selama ini, suatu saat kami pasti kan kembali begitu ucap kami dalam hati.

Komentar

Postingan Populer