KLIMAK DIANTARA LEUWIGOONG DAN LIMBANGAN


Kamari aya lima jalmi anu palid, opat jalmi tos kapendak kantun hiji deui teu acan kapendak” (kemarin ada lima orang yang meninggal terbawa arus sungai, empat orang sudah diketemukan tinggal 1 orang lai yang hilang), itulah kalimat yang terlontar dari beberapa penduduk yang hendak memancing ikan di tepain sungai ketika kita akan mengarungi sungai Cimanuk antara jalur Leuwigoong-Limbangan. Kami hanya bisa saling bertatapan muka satu sama lain Sambil melihat ke arah sungai. Terbersit di pikiran kami apakah kami akan melanjutkan pengarungan sungai mengingat informasi tersebut, lagian wadah Sungai Cimanuk sepertinya sudah hampir tidak cukup lagi menampung desakan air yang mengalir dari hulu diakibatkan hujan semalam dihulu sungai.

Pagi itu Sambil garuk-garuk kepala dan raut muka yang menunjukan kekurangan tidur Ulloh berujar “urang teru bisa sare tadi peuting cai tinggal sabeubeuraha meter ti tempat sare, maraneh hares digeuing-geuing euweuh anu ngenjat jadi urang jaga sapeupeuting” (aku ga bisa tidur tadi malam ketinggian air sungai tinggal beberapa meter lagi dari tempat tidur kita, kalian semua tidur pula sekali, dibangunkan tidak ada yang terjaga jadi aku berjaga semalaman). Yang kuingat bahwa sedetikpun aku sama sekali tidak terbangun dalam tidurku dikarenakan pengarungan sungai kemarin yang cukup menegangkan dan melelahkan, cukup untuk menguras semua energy yang dihasilkan dari perpaduan segenggam nasi plus biscuit ditambah seruput air yang mengandung vitamin C. Teringat aku sore sebelumnya ketika kita memasuki suatu hole hampir saja membuat perahu yang kami tumpangi terbalik, posisi depan perahu yang semula mengarah kearah hilir sungai mendadak tertahan oleh suatu tenaga yang luar biasa besarnya seperti naga yang hendak menerkam mangsanya yang pada akhirnya membuat posisi perahu menjadi miring, tak sampai sepersekian detik kejadian tersebut posisi tubuhku sudah oleng tidak mungkin lagi untuk bertahan diatas perahu untung saja kakiku terkait kepada kaki K’Opik sehingga tubuhku yang sudah sejajar dengan permukaan air masih bisa kuluruskan kembali. Oh Tuhan ternyata hal itu yang membuatku tidak bergelut dengan gumpalan air di Sungai Cimanuk. Sebelumnya hari sudah menjelang magrib ketika perahu yang kita tumpangi sudah berada di Finish Etapi I (Jembatan Leuwigoong) dikarenakan perasaan tanggung menjalani nikmatnya ayunan air sungai maka kita masih melanjutkan perjalanan. Setelah kejadian yang hampir memuntahkan awak perahu ke sungai tersebut akhirnya tanpa diskusi lebih panjang kita menepi di pinggir sungai dan langsung melakukan penambatan disertai dengan persiapan untuk bermalam, waktu menunjukan sesudah magrib kala itu. Kita membuat base camp persitirahatan yang berjarak sekita 8 meter diatas permukaan sungai. Malam itu terasa indah sekali walaupun persaan lelah, tegang, nikmat, takut bercampur baur menjadi satu bagian. Semalaman kami lalui disertai dengan obrolan diskusi pengarungan yang baru saja dilakukan tak lupa rencana pengarungan besok pagi menjadi menu utama diskusi malam itu, wuih asyiknya.

Bermula dari obrolan ringan di Sekertariat Dipati Ukur yang merupakan markas kegiatan organisasi, Kang Opik mengusulkan agar diadakannya suatu simulasi kegiatan ekspedisi arung jeram. Ide awalnya ialah bagaimana mensimulasikan kegiatan arung jeram untuk ekspedisi dari mulai pra kegiatan, kegiatan dan pasca kegiatan. Disepakatilah suatu bentuk kegiatan simulasi ekspedisi pengarungan sungai dengan mengambil lokasi simulasi adalah sepanjang Sungai Cimanuk mulai dari Kota garut sampai Limbangan. Diputuskan tim yang akan terlibat terdiri dari 4 orang yaitu : Aku, Diki, Opik dan Ulloh. Pagi hari kita berangkat dari sekertariat dengan semangat juang 45 layaknya prajurit yang siap berperang ke medang perang. Dengan menggunakan angkutan kota kita bergerak menuju Terminal Cicaheum dilanjutkan dengan menggunakan Elf menuju Kota Garut. AJB “Angkat Jinjing Banting”adalah istilah yang sudah melekat dengan penggiat arung jeram di organisasi kita. Tanpa kendaraan pribadi pun kegiatan harus tetap berjalan itulah prinsip atau nilai-nilai yang coba kami tanamkan kedalam hati kami, seringkali kita menginap diterminal dikarenakan tidak adanya angkutan lagi yang menuju kearah titik start lokasi pengarungan, pernah suatu ketika kita menginap di terminal dimana komposisi lalaki adalh 2 orang sedangkan perempuan 4 orang. Keyakinan akan suatu kegiatan yang didasari niat baik itulah yang memompa kami untuk dapat beraktifitas dengan daya dukung yang terbilang minim. Siang hari kita sudah berada di Pusat Kota Garut tepatnya di depan Rumah Sakit Garut. Laksana prajurit yang terlatih yang melakukan misi,kita mulai pekerjaan sesuai yang telah direncanakan. Tugas pertama yang dilakukan adalah pengembungan perahu, dengan gerakan yang teratur laksana sedang melakukan Senam Kesegaran Jasmani ala anak-anak Sekolah Dasar pada saat melakukan bina jasmani sedikit demi sedikit bentuk kembung dari sang karet mulai terlihat. Lambung kiri, lambung kanan, bantalan depan dan belakang diakhiri dengan pengisian angin di lantai, tugas pertama selesai dilakukan. Tugas berikutnya adalah bagaimana semua peralatan yang kita bawa diluar alat-alat yang kita pakai bisa diangkut kedalam perahu. Semacam jaring kita buat yang terdiri dari ikatan-ikatan webbing, sling dan tali statis dirangkai menjadi suatu jaring yang dikaitkan menggunakan cincin-cincin yang tebuat dari almunium alloy untuk menempatkan semua peralatan tadi, mulai dari dry bag, alat masak dan makan, alat tidur, peralatan rescue, kamera, dan lain-lain tumplek menjadi satu di jaring tersebut. Posisi jarring diletakan ditengah tepat diantara lambung depan dan belakang sehingga tidak menggangu formasi genap personil perahu yang akan melakukan pengarungan. Tugas berikutnya adalah tugas yang tak lah penting dari tugas-tugas sebelumnya yaitu berdoa kepada Tuhan sesuai dengan keyakinan masing-masing semoga perjalanan yang akan dilakukan mendapat perlindungan dari-Nya dan kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.

Siang hari, pengarungan dimulai. Posisi skipper (istilah pengemudi perahu di kalangan pengarung jeram) di percayakan kepada Diki. Kemampuan teknis dilapangan beserta kemampuan mental seperti ketenangan dan menganalisa kondisi lapangan yang dipunyai oleh individu ini menurut kita tidak perlu diragukan lagi, lainnya sebagai pendayung yang bertugas mengikuti instruksi skipper. MAJU, MUNDUR, KANAN BALIK, KIRI BALIK, STOP, BUMMMMMM adalah kata-kata yang diinstruksikan oleh sang nakoda perahu. Pengarungan antara jalur Garut kota dan Jagger tidak terlalu istimewa dikarenakan hanya ada riak-riak kecil selebihnya adalah full mendayung. Memasuki wilayah jagger isitilah yang kami namakan Etape Cimanuk I tinggi muka air mulai terlihat meninggi. Itu kita ketahui berdasarkan patokan yang biasa kita kenal disekitar Jagger. Satu persatu bentukan sungai yang mengakibatkan adanya proses desakan, turbulensi dan hisapan terhadap objek diatasnya terlewati, teriakan-teriakan hore…hore…asyik…aaaaaaa dari pendayung terdengar asyik membentuk suatu nada yang teratur, kadang kala pendayung didepan menyerahkan muka untuk ditampar oleh deburan-deburan air yang terjadi. Kondisi Sepanjang Sungai Cimanuk Etape I ini boleh dikatakan naik kelasnya dibandingkan dengan ketinggian air normal. Kalau boleh kami klasifikasikan antara grade 2-3 jikalau dalam kondisi normal menjadi grade 3, satu dua jeram berubah menjadi grade 4.

Diputuskan misi akan tetap dilanjutkan sesuai dengan rencana, itulah kesepakatan kami setelah terjadi proses diskusi mengenai kondisi debit sungai yang tak jua menurun. Tak lupa saling mengingatkan satu sama lain atas kondisi yang mungkin terjadi didepan selama pengarungan yang akan dilakukan, perspektif antisipatif dan perspektif exit wet. Dari sisi kondisi jalur sungai yang akan dilalui, sungai ini tergolong kategori unik, hampir sepanjang perjalanan dinding-dinding tebing di kiri-kanan yang mempunyai ketinggian rata-rata diatas 10 meter merupakan tandem setia menyatu dengan air, bentukan jeram-jeram yang tejadi tidak teratur serta arus besar di belokan-belakan sungai yang tak jarang banyak mengakibatkan lubang-lubang yang menganga di bawah ataupun diatas permukaan sungai yang dikenal dengan istilah undercut. Hanya di beberapa titik terdapat ketinggian sungai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan tepiannya, exit strategy adalah satu kondisi yang agak sulit melihat medan sungai yang seperti itu.. Pengarungan pun dimulai, arus sungai sebegitu derasnya, bentukan sungai yang terjadi berubah seiring dengan debet air sungai yang tinggi, berbeda sekali jeram-jeram di sungai ini jika dibandingkan dengan ketika debit air sungai normal. Ambil kiri Mas, begitu ujar diki memerintahkanku untuk membantu posisi perahu. Satu meter menjelang turunan sontak membuat kita semua kaget lebih 1 meter jarak penurunan vertikal “dayung kuat “ perintang sang skipper menggema, diiringi dengan teriakan dayung kuat oleh semua awak perahu. Turunan-turunan sungai yang biasanya dapat di prediksi ketika debit air sungai normal sama sekali susah untuk diprediksi. Terkadang kita tidak mengenali lokasi-lokasi jeram yang selama ini kita cukup kenal dengan baik, ada jeram Panjang, jeram Ajo, dll. Scouting dilakukan per jeram, teknisnya ketika akan memasuki suatu jeram maka dilakukan pengamatan dan didiskusikan terlebih dahulu akhirnya diputuskan akan mengambil jalur pengarungan yang mana. Setiap melewati satu jeram setiap itu juga perahu parkir untuk mengambil napas panjang dan perencanan memasuki jeram berikutnya. Terkadang ketika kita beristirahat terlihat pemandangan bangkai-bangkai biantang yang terbawa arus dari arah hulu yang menjadi menu tambahan sambil menyeruput minuman yang mengandung vitamin c. Jujur situasi tegang, takut, asyik dan nikmat bercampur menjadi satu. Pertama kali dalam hidupku mungkin anggota tim merasakan dasyatnya pengarungan. “Dayung Kuat” instruksi yang sudah tak terhitung jumlahnya ketika itu, pikiran sadar kita berkata jikalau salah satu anggota tim ada yang terlempar keluar perahu kondisi seperti apa yang kan terjadi ataukah jikalau perahu yang kita tumpangi terbalik di sungai oh tak terbayangkan apa yang kan terjadi. Multi konsentrasi adalah satu kunci dari pengarungan ini, selain mengamati ,menganalisa bentukan jeram yang akan dilalui, mendengarkan dengan cermat instruksi dari skipper juga memperhatikan sesame pendayung jikalau kestabilan dari tubuhnya terdorong keluar perahu yang dilakukan pada saat yang hampir bersamaan, luar biasa. Satu hal yang mungkin menyelamatkan kami adalah tumpukan barang yang tersusun rapi dibungkus jaring yang membuat perahu stabil susah untuk terbalik dikarenakan bebannya. Selain itu juga kita diuntungkan dengan formasi pendayung pada saat itu dimana personil yang terlibat sudah seringkali melakukan kegiatan serupa sehingga tingkat pengertian antar pendayung boleh dikatakan bagus. Pengingatan sebisa mungkin tak jatuh keluar perahu seringkali kami lakukan karena kami sadar jika kondisi itu terjadi maka self rescue adalah modal utama untuk bisa selamat dari terjangan arus sungai. Tak jarang pendayung didepan melakukan pendayung bukan kearah bawah dikarenakan air sudah berada sejajar atau diatas dengan badan perahu.

Akhirnya tanpa disadari perahu yang kita tumpangi mendekat ke daerah jembatan besi limbangan Garut, titik terakhir pengarungan sudah didepan mata artinya misi yang diemban akan segera berakhir. Perahu ditambatkan dan kita berdoa atas perlindungan yang diberikan oleh-Nya selama pengarungan sungai disusul kemudian dengan mencoba melepaskan lelah di tepian sungai. Tak lama setelah beres-beres peralatan suara adzan jum’at berkumandang dari masjid terdekat sekitar sungai. Selama perjalanan pulang ke Bandung tak berhenti aku berfikir suasana yang kualami dalam mengarungi sungai Cimanuk, belum pernah sekalipun dalam hidupku mengalami ketegangan dan kenikmatan yang luar biasa dan mungkin akan susah untuk mengulangnya kembali. Klimak kata-kata itulah yang pantas untuk mengungkapkan pengarungan kami sepanjang jalur Leuwigoong dan Limbangan.

Komentar

Postingan Populer